Legenda dan cerita tentang Semar berjumlah banyak sekali. Setiap kali beliau muncul dalam pertunjukan wayang, dengan caranya yang periang, beliau akan selalu memberi pelajaran bagi penonton dan nasehat kepada tokoh lain dalam cerita itu. Oleh sebab itu, Semar dan ajarannya dikaji secara seksama dan sudah banyak upaya menjelaskan sosok Semar dan arti dari ucapannya. Di sini kami hanya membidik segelintir cerita yang sangat populer untukmencerminkan kecerdasan Semar yang sebenarnya serta beberapa keajaiban Semar yang menunjukkan betapa mengagumkan (dan membingungkan) nalurinya.
Pada awal:
Pada awal, Sang Hyang Tunggal, Tuhan yang Mahaesa, menciptakan cahaya dan mengarah cahaya itu mengambil bentuk sebagai telur . (Catatan: dengan demikian, terjawablah sudah masalah lama siapa dulu, telur atau ayam) Telur , sebagaimana kita mengetahui, terdiri dari tiga bagian, intinya yang kuning, lapisan yang putih, dan kulitnya. Saat telur itu ditetaskan, muncul tiga dewa muda, yaitu pertama Sang Hyang Antaga (Togog) dari kulitnya, lalu Sang Hyang Ismaya (Semar) dari bagian putih dan terakhir Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru atau Syiwa) dari bagian kuning.
Sayangnya, masing-masing menganggap diri sebagai pewaris yang sah dari tahta Sang Hyang Tunggal dan tidak bersedia tunduk kepada saudaranya. Mengamati keadaan ini, Sang Hyang Tunggal menantang mereka menelan Gunung Mahameru, gunung yang paling suci di dunia dan lambang alam semesta, lalu memuntahkannya kembali. Sesiapa yang pertama kali melaksanakan tugas ini akan dianggap pewaris yang sah. Sebagai anak tertua, Sang Hyang Antaga (Togog) tergesa-gesa mencoba melakukannya, tapi biar bagaimanapun usahanya, ia tidak bisa membuka mulutnya cukup lebar untuk menelan gunung itu, dengan akibat mulutnya tersobek dan bibirnya dilonggarkan lebar-lebar. Lantas, anak kedua, Sang Hyang Ismaya (Semar), juga buru-buru maju ke depan dan berhasil menelan seluruh gunung itu, tapi biar bagaimanapun usahanya, ia tidak bisa memuntahkannya kembali. Sebagai akibat, gunung yang raksasa itu turun ke dalam pantatnya dan tidak bisa dikeluarkan, baik ke arah depan maupun ke arah belakang. (Catatan: mungkin ini sebabnya pantat Semar luar biasa gede, dan, kalau diperhatikan bahwa Gunung Mahameru berupa gunung api, mungkin ini dapat juga menjelaskan letusan gas berbau busuk yang sering keluar dari perut Semar). Oleh karena gunungnya telah hilang, anak ketiga dan termuda, Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru) tidak dapat mencoba menelannya.
Tersinggung dengan gerak-gerik Togog dan Semar dan terkesan dengan kesabaran Batara Guru, Sang Hyang Tunggal menobati Batara Guru sebagai pewaris tahtanya yang sah. Semar disuruh turun ke bumi untuk memimpin dan melayani orang dengan iktikad baik, sedangkan Togog disuruh turun ke bumi untuk memimpin dan melayani buta-buta dan orang dengan iktikad kurang baik. (Catatan: Togog juga merupakan tokoh yang kompleks: beliau akan selalau berusaha memberi nasehat yang baik kepada orang yang dibantu, tapi ditakdirkan bahwa mereka tidak akan menghiraukan nasehatnya; lalu beliau memperuncing masalah dengan memuji dan menyanjung-nyanjung mereka, mendorong mereka lebih jauh ke arah yang salah).
Pada awal, Sang Hyang Tunggal, Tuhan yang Mahaesa, menciptakan cahaya dan mengarah cahaya itu mengambil bentuk sebagai telur . (Catatan: dengan demikian, terjawablah sudah masalah lama siapa dulu, telur atau ayam) Telur , sebagaimana kita mengetahui, terdiri dari tiga bagian, intinya yang kuning, lapisan yang putih, dan kulitnya. Saat telur itu ditetaskan, muncul tiga dewa muda, yaitu pertama Sang Hyang Antaga (Togog) dari kulitnya, lalu Sang Hyang Ismaya (Semar) dari bagian putih dan terakhir Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru atau Syiwa) dari bagian kuning.
Sayangnya, masing-masing menganggap diri sebagai pewaris yang sah dari tahta Sang Hyang Tunggal dan tidak bersedia tunduk kepada saudaranya. Mengamati keadaan ini, Sang Hyang Tunggal menantang mereka menelan Gunung Mahameru, gunung yang paling suci di dunia dan lambang alam semesta, lalu memuntahkannya kembali. Sesiapa yang pertama kali melaksanakan tugas ini akan dianggap pewaris yang sah. Sebagai anak tertua, Sang Hyang Antaga (Togog) tergesa-gesa mencoba melakukannya, tapi biar bagaimanapun usahanya, ia tidak bisa membuka mulutnya cukup lebar untuk menelan gunung itu, dengan akibat mulutnya tersobek dan bibirnya dilonggarkan lebar-lebar. Lantas, anak kedua, Sang Hyang Ismaya (Semar), juga buru-buru maju ke depan dan berhasil menelan seluruh gunung itu, tapi biar bagaimanapun usahanya, ia tidak bisa memuntahkannya kembali. Sebagai akibat, gunung yang raksasa itu turun ke dalam pantatnya dan tidak bisa dikeluarkan, baik ke arah depan maupun ke arah belakang. (Catatan: mungkin ini sebabnya pantat Semar luar biasa gede, dan, kalau diperhatikan bahwa Gunung Mahameru berupa gunung api, mungkin ini dapat juga menjelaskan letusan gas berbau busuk yang sering keluar dari perut Semar). Oleh karena gunungnya telah hilang, anak ketiga dan termuda, Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru) tidak dapat mencoba menelannya.
Tersinggung dengan gerak-gerik Togog dan Semar dan terkesan dengan kesabaran Batara Guru, Sang Hyang Tunggal menobati Batara Guru sebagai pewaris tahtanya yang sah. Semar disuruh turun ke bumi untuk memimpin dan melayani orang dengan iktikad baik, sedangkan Togog disuruh turun ke bumi untuk memimpin dan melayani buta-buta dan orang dengan iktikad kurang baik. (Catatan: Togog juga merupakan tokoh yang kompleks: beliau akan selalau berusaha memberi nasehat yang baik kepada orang yang dibantu, tapi ditakdirkan bahwa mereka tidak akan menghiraukan nasehatnya; lalu beliau memperuncing masalah dengan memuji dan menyanjung-nyanjung mereka, mendorong mereka lebih jauh ke arah yang salah).
Dalam versi lain dari asal-usul Semar, ada ibu dari tiga saudara tersebut, yang dikenal sebagai Dewi Rakti atau Dewi Rakatawati. (Catatan: kalau begitu, mungkin masalah ayam dan telur masih belum terjawab). Dan, dalam versi lain lagi,Sang Hyang Antaga (Togog) diciptakan dari cahaya merah waktu senja, Sang Hyang Ismaya (Semar) diciptakan dari kekosongan alam semesta (maya), Sang Hyang Manikmaya (Batara Guru) diciptakan dari sinar batu permata, dan dewa muda yang keempat, ang Hyang Nurada (Batara Narada)S, diciptakan dari cahaya (nur). Mereka berempat merupakan penghuni dunia yang pertama.
Dalam beberapa legenda, sebelum kahyangan ditinggalkan untuk mengasuh tugasnya didunia, Batara Ismaya (Semar) sempat kawin dengan Dewi Kanastren dan mereka dikaruniakan sepuluh anak, yaitu:
v Sang Hyang Bongkokan atau Wungkuam —Dewa halilintar dan petir
v Sang Hyang Patuk – Utusan dewa-dewa (dengan Batara Temboro)
v Batara Kuwera – Dewa kekayaan
v Batara Candra – Dewa bulan
v Batara Mahyati – Dewa kearifan
v Batara Yamadipati – Dewa kematian dan penjaga gerbang neraka, dengan kepala buta raksasa
v Batara Surya – Dewa matahari
v Batara Kamajaya – Bersama dengan istrinya, Batari Kamaratih, simbol cinta sejati
v Batara Temboro – Utusan dewa-dewa (dengan Sang Hyang Patuk)
v Dewi Darmastuti – Istri dari Begawan Bagaspati, buta raksasa yang juga merupakan resi
Versi lain mendaftarkan Batara Wrahaspati atau Batara Siwah sebagai anaknya ketimbang Sang Hyang Patuk. Terdapat tumpang tindih yang menarik antara daftar anak Semar ini dengan daftar delapan dewa yang menjiwai Astabrata, delapan jurus kepemimpinan yang berhasil, yaitu: Agni, Anila/Bayu, Baruna, Candra, Indra, Kuwera, Surya dan Yama.
Cara Semar menemukan anak angkatnya :
Semar biasanya didampingi oleh paling sedikit tiga anak angkat, Gareng, Petruk dan Bagong , yang bersama-sama dikenal sebagai Punakawan (teman atau pembantu yang serba tahu). Terdapat banyak cerita tentang cara Semar bergabung dengan tokoh-tokoh periang yang unik tersebut.
Dalam satu cerita, Semar kesepian dan minta agar Sang Hyang Tunggal menciptakan temannya. Sang Hyang Tunggal menjawab saja bahwa temanmu terbaik adalah bayanganmu. Semar berpaling melihat bayangannya dan menemukan bahwa bayangannya telah hidup sebagai versi kecil dari Semar sendiri. Bayangan yang hidup ini menjadi anak angkat Semar, bernama Bagong . Walaupun Bagong merupakan anak angkat yang pertama, oleh karena sifatnya yang selalau kanak-kanakan, Bagong sering diperlakukan sebagai anak bungsu. Untuk memperoleh anak lain, Semar membentuk orang dari gumpalan getah kering dari pohon damar, yang diberi nama Nala Gareng atau Gareng . Anak ketiga merupakan pangeran yang ayahnya gagal mengasuh dan minta agar Semar mengangkatnya. Semar setuju dan memberi nama Petruk .
Dalam beberapa legenda, sebelum kahyangan ditinggalkan untuk mengasuh tugasnya didunia, Batara Ismaya (Semar) sempat kawin dengan Dewi Kanastren dan mereka dikaruniakan sepuluh anak, yaitu:
v Sang Hyang Bongkokan atau Wungkuam —Dewa halilintar dan petir
v Sang Hyang Patuk – Utusan dewa-dewa (dengan Batara Temboro)
v Batara Kuwera – Dewa kekayaan
v Batara Candra – Dewa bulan
v Batara Mahyati – Dewa kearifan
v Batara Yamadipati – Dewa kematian dan penjaga gerbang neraka, dengan kepala buta raksasa
v Batara Surya – Dewa matahari
v Batara Kamajaya – Bersama dengan istrinya, Batari Kamaratih, simbol cinta sejati
v Batara Temboro – Utusan dewa-dewa (dengan Sang Hyang Patuk)
v Dewi Darmastuti – Istri dari Begawan Bagaspati, buta raksasa yang juga merupakan resi
Versi lain mendaftarkan Batara Wrahaspati atau Batara Siwah sebagai anaknya ketimbang Sang Hyang Patuk. Terdapat tumpang tindih yang menarik antara daftar anak Semar ini dengan daftar delapan dewa yang menjiwai Astabrata, delapan jurus kepemimpinan yang berhasil, yaitu: Agni, Anila/Bayu, Baruna, Candra, Indra, Kuwera, Surya dan Yama.
Cara Semar menemukan anak angkatnya :
Semar biasanya didampingi oleh paling sedikit tiga anak angkat, Gareng, Petruk dan Bagong , yang bersama-sama dikenal sebagai Punakawan (teman atau pembantu yang serba tahu). Terdapat banyak cerita tentang cara Semar bergabung dengan tokoh-tokoh periang yang unik tersebut.
Dalam satu cerita, Semar kesepian dan minta agar Sang Hyang Tunggal menciptakan temannya. Sang Hyang Tunggal menjawab saja bahwa temanmu terbaik adalah bayanganmu. Semar berpaling melihat bayangannya dan menemukan bahwa bayangannya telah hidup sebagai versi kecil dari Semar sendiri. Bayangan yang hidup ini menjadi anak angkat Semar, bernama Bagong . Walaupun Bagong merupakan anak angkat yang pertama, oleh karena sifatnya yang selalau kanak-kanakan, Bagong sering diperlakukan sebagai anak bungsu. Untuk memperoleh anak lain, Semar membentuk orang dari gumpalan getah kering dari pohon damar, yang diberi nama Nala Gareng atau Gareng . Anak ketiga merupakan pangeran yang ayahnya gagal mengasuh dan minta agar Semar mengangkatnya. Semar setuju dan memberi nama Petruk .
Dalam cerita lain, dua kesatria yang tampan, Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan, saling beradu otot untuk membuktikan siapa yang paling tampan, tapi tiada yang dapat mengalahkan yang lain. Lalu muncul seorang gendut, berbentuk cacat dan aneh bernama Lurah Janggan Smarasanta (kepala kampung yang jiwanya dikuasai oleh Semar). Mereka sepakat orang ini dapat menjadi hakim yang baik untuk memutuskan siapa diantaranya yang paling tampan. Semar tertawa dan, dengan mengherankan mereka, memberitahu mereka bahwa sama sekali tidak ada di antara mereka yang tampan. Oleh Semar mereka disuruh melihat dirinya di cermin. Begitu lihat wajahnya di cermin, mereka sadar dengan sangat menyesal bahwa mereka telah menghancurkan ketampanannya masing-masing dan sekarang boleh dikatakan cacat juga. Untuk menghibur hati mereka, Semar mengajar mereka bahwa sumber keindahan sebenarnya letak dalam jasa kepada orang lain dan bukan dalam ciri-ciri fisik. Terkesan dengan kebijaksanaan dan kecerdikan Semar, kedua kesatria tersebut minta Semar mengangkat mereka sebagai anak angkat. Semar setuju dan memberi nama Gareng dan Petruk kepada mereka.
Di Cirebon , kota pelabuhan dan bekas kesultanan di pantai barat laut Pulau Jawa, Semar dikenal mempunyai delapan anak angkat, yaitu Dawala (Petruk), Gareng, Bagong, Bitarota, Ceblok, Cungkring, Bagalbuntung, dan Curis . Bersama-sama, Semar dan anaknya berjumlah sembilan, yang di Cirebon dikaitkan dengan Wali Sanga, sembilan orang alim yang membawa Agama Islam ke Jawa.
Di bagian Jawa Barat yang lain, terutama di daerah pegunungan dekat kota Bandung, anak angkat Semar dikenal sebagai Cepot Astrajingga, yang tertua, Dawala atau Petruk , anak kedua, dan Gareng sebagai yang paling bungsu. Dipercaya bahwa Cepot muncul dari tongkat Semar, yang menurut Semar sudah hilang tapi ternyata tersembunyi dalam bayangannya. Di dalam Wayang Golek Purwa Sunda, Cepot sering mempunyai satu kaki yang dapat keluar dari sarongnya untuk mendepak wayang yang lain.
Di bagian Jawa Barat yang lain, terutama di daerah pegunungan dekat kota Bandung, anak angkat Semar dikenal sebagai Cepot Astrajingga, yang tertua, Dawala atau Petruk , anak kedua, dan Gareng sebagai yang paling bungsu. Dipercaya bahwa Cepot muncul dari tongkat Semar, yang menurut Semar sudah hilang tapi ternyata tersembunyi dalam bayangannya. Di dalam Wayang Golek Purwa Sunda, Cepot sering mempunyai satu kaki yang dapat keluar dari sarongnya untuk mendepak wayang yang lain.
Ciri-ciri Semar
sumber : Museum Wayang Kekayon Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar