Minggu, 25 April 2010

Dalam dunia pewayangan, yang berinduk dari Ramayana dan Mahabharata, dikenal banyak wanita yang memang berjiwa satriya. Satriya di sini bukan berarti pandai berperang, tetapi memiliki ketahanan mental spiritual yang melebihi satriya. Kita sebut saja, ada Dewi Shinta (isteri Rama), Dewi Wara Sembadra (isteri Arjuna), Dewi Drupadi (isteri Pendhawa), Srikandhi (isteri Arjuna).
Dewi Shinta
Dewi Shinta merupakan tititsan bidadari yang bernama Dewi Sri. Tokoh ini menjadi fokus utama dalam kisah Ramayana. Dewi Shinta merupakan Putra Prabu Riskala di Negara Darawati. Raja Darawati semula hatinya sangat bersedih karena belum juga memiliki putra, ia kemudian berendam di dalam air. Ketika berendam itu, dia melihat dari kejauhan tampaklah ada sinar kemerah-merahan dari sebuah gendaga yang terapung. Prabu Riskala terkejut setelah mengetahui kalau di dalam gendaga itu ada bayi yang sangat jantik jelita, dinamailah dirinya Dewi Shinta. Menurut versi lain Shinta merupakan putra Prabu Janaka di Negara Mantilireja. Shinta merupakan isteri Ramabadra/Ramawijaya dari Negara Ayodya, dari perkawinan itu menghasilkan dua putra yang bernama Lawa (Rawabatlawa) dan Kusa (Ramakusa).
Dewi Shinta dilukiskan sebagai sosok wanita yang bertabita halus, dengan posisi muka luruh, bermata liyepan, berhidung lancip (walimiring) dan bermulut salitan. Ada penggambaran sinom yang terurai di dahinya dengan mahkota gundulan berhias jamang sadasaler, sumping mangara dengan cunduk bintulu (gelapan alit). Rambut ngore gendong, badan putren dengan sampir bermotif kembangan. Ia mengenakan kelatbahu naga pangangrang, gelang calumpringan, binggel sebagai gelang kaki. Putren ini ditampilkan dengan muka dan badan gemblaeng. Wanda : Rangkung, sedet dan Padasih.
Seperti janji Batara Wisnu dengan Dewi Sri, jika telah menitis ke bumi akan selalu berdampingan. Oleh karena itu berdasarkan bisikan dewa bahwa putranya adalah titisan Dewi Sri, maka Prabu Janaka mengadakan sayembara mementang busur. Sayembara itu dimenangkan Ramawijaya/Ramabadra. Kemudian Dewi Shinta diboyong ke Ayodya.
Di Ayodya terjadi intrik-intrik yang dilakukan selir, Dewi Kekayi. Dia ingin anaknya menjadi Raja, sehingga dengan daya upaya mengusir Rama.
Ketika Ramawijaya, Dewi Sinta, dan Raden Lesmana berada di atas Dandaka, mereka telah dimata-matai oleh Sarpakenaka dan Dasamuka. Keduanya mempunyai akal bulus untuk memisahkan Shinta dari Lesmana dan Rama. Dasamuka memerintahkan Marica untuk menjadi kijangemas. Girang bukan kepalang melihat kijangmas itu menarik Shinta untuk memegangnya, sehingga Ramawijaya mengejarnya. Oleh karena Shinta khawatir dengan keadaan Ramawijaya, maka dia mengutus Lesmana untuk mencarinya.
Pada saat Rama dan Lesmana pergi, Dasamuka menyamar jadi pengemis tua, hanya dengan cara inilah dia bisa menembus lingkaran sakti Lesmana. Shinta berhasil diculik Dasamuka dibawa ke Alengka.
Di Alengka Dasamuka berdaya upaya agar Dewi Shinta bersedia melayani nafsunya, tetapi berulangkali Dewi Shinta berhasil menolaknya. Sampai pada akhirnya Anoman datang, yang memberi pertolongan.
Setelah perang antara Ramawijaya cs melawan Dasamuka cs, Ramawijaya meragukan kesucian Dewi Shinta. Oleh karenanya Dewi Shinta masuk ke lautan api. Atas karunia Batara Endra, maka Dewi Shinta tidak hangus dan dinyatakan suci.

Dewi Srikandhi
Dewi Wara Srikandi adalah putra Prabu Drupada raja Pancalareja dengan permaisurinya Dewi Gandawati. Ia merupakan istri Arjuna yang mendapat tugas sebagai penjaga keselamatan dan ketentraman kasatriyan Madukara. Dalam perkawinan itu dia tidak mendapatkan putra. Dewi Wara Srikandi memiliki saudara kandung bernama Dewi Drupadi yang menjadi isteri Prabu Puntadewa. Tokoh Putren ini menyukai keprajuritan terutama dalam memainkan senjata panah. Oleh karenanya dia suka diidolakan.
Dewi Wara Srikandi dalam penampakannya wayang kulit dilukiskan sebagai tokoh dengan penampilan branyak (lanyap) dengan posisi muka langak, bermata liyepan, berhidung lancip (walimiring) dan bermulut salitan. Ia bermahkota gundulan dengan sinom yang menghiasi dahinya mengenakan jamang sadasaler dengan sumping prabangyungyung. sarira weweg (padat berisi) rambut ngore gendrong, mengenakan busana putren dengan smekan gadung mlati, pinjong dengan dodot bermotif semen jrengut seling gurda dan samparan kain panjang bermotif kawung. Tokoh ini banyak memakai atribut seperti kelatbahu dan gelang, tetapi ditampilkan polos. Dewi Wara Srikandi bermuka dan berbadan gembleng, wanda golek, nenes, patrem. Ada kalanya tampil dengan busana prajurit saat menjadi Senapati Agung dalam Perang Baratayudha.
Keinginan kuatnya untuk menguasai keahlian keprajuritan telah membuatnya belajar tidak mengenal waktu. Sebagai akibatnya itu hubungan Raden Arjuna dan Dewi Wara Sembadra menjadi renggang. Arjuna jatuh cinta padanya. Sebelum dinikahi Arjuna, Srikandi minta syarat agar dicarikan perempuan yang lebih pandai darinya yang bisa mengunggulinya. Dengan saksi Prabu Kresna Dewi Larasati berhasil mengalahkannya. Oleh karenanya Dewi Srikandhi dijadikan isteri kedua. (Ini mungkin sisi kejelekan dari Srikandi). Dalam Perang Baratayudha, dia diangkat menjadi Senopati Agung yang melawan Resi Bisma.

Dewi Wara Sembadra

Dewi Wara Sembadra adalah putri Prabu Basudewa Raja Mandura dengan Permaisuri Dewi Badraini. Ia memiliki dua saudara laki-laki, yakni Raden Kakrasana atau Prabu Baladewa, dan Raden Narayana atau Prabu Kresna di Dwarawati. Ia menikah dengan Arjuna dan berputra Raden Abimanyu. Dia merupakan titisan Dewi Sri. Wataknya setia, suka menolong, hambeg para marta dan sebagainya. Lahirnya bersamaan dengan Arjuna, kemudian dipertunangkan. Dewi Wara Sembadra memiliki nama lain Dewi Mrenges, Rara Ireng, dan Bratajaya. Ketika ditinggalkan Dewi Sri, dia menjadi sakit-sakitan, tetapi begitu Dewi Sri kembali padanya, Wara Sembadra sembuh. Raden Arjuna sendiri memiliki beberapa isteri, antara lain Dewi Wara Sembadra, Dewi Larasati, Dewi Ulupi, Dewi Srikandi, Dewi Dresanala, Dewi Jiwambang, Dewi Wilutama, Endang Manuhara.
Dewi Drupadi
Dewi Drupadi putri Prabu Drupada Raja Cepala, Ia diperisteri Prabu Puntadewa, Raja Astina, kemudian berputra Raden Pancawala. Dewi Drupadi dilukiskan sebaya wayang kulit dengan karakter luruh, posisi muka tumungkul, dengan mata liyepan, hidung lancip, mulut salitan.
Ketika ada di dalam perjamuan makan antara Pandhawa dan Kurawa, hampir saja dia hendak dipermalukan oleh keluarga Kurawa. Hampir saja busananya ditarik sehingga kelihatan tubuhnya, tetapi dengan bantuan Prabu Kresna, busananya menjadi kian tebal, karena ternyata kain yang membungkus badan Dewi Drupadi menjadi panjang, kian panjang, seolah-olah tidak akan ada ujung pangkalnya. Padahal Dewi Drupadi sudah khawatir dengan posisinya saat itu. Akan tetapi rambutnya berhasil diuraikan, sehingga dia bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum bersampokan darah Dursasana.

Sumber : Sunarto dan Sagio, Wayang Kulit Gaya Yogyakarta, Pemprov DIY, 2004

Mario Teguh

Ning Ya pusing. Kaet mau nggremeng thok. Arek telu sing ndhuk idheke mik pandeng-pandengan nontok Ning Ya mecucu terus.

“Jare Mario Teguh, dadi uwong iku ojok mutungan. Dicelathu thithik ae wis nggondhok. Kapan majune, Ning?” jare Cak Sur.

Pendik sing lungguh ndhuk sebelahe manthuk. “Bener, Ning. Jare Rhenald Kasali cik usahane maju, kudu berubah, change. Kudu diowahi. Gak mik ngene-ngene thok. Lek koen meneng thok, kapan isok dadi juragan?”

Pi’i ambegan dawa. Arek iku sawangane prihatin nemen eruh Ning Ya. Pi’i gedek-gedek ngrasakno arek sitok iku.

“Iyo, Ning Ya iku ancen gak maju blas pikirane. Kaet biyen gak onok perubahan. Wingi wis tak selangi buku karangane Tung Desem Waringin sing dadi motivator hebat iku. Yo gak diapak-apakno,” Pi’i melok ngomel.

Ning Ya ngamuk. Suthil dithuthukna wajan. “Koen iku gak ngomong ta ambek Mario Teguh, Rhenald Kasali, utawa Tung Desem. Takokana, yok opo carane warung kopi ambek gorengan iki isok maju koyok Starbucks CafĂ© ndhuk Tunjungan Plaza? Takok mesisan, yok opo carane ngatasi pelanggan sing utang thok lek ditagih mrenges. Isok ta maju lek mangan menjes papat mbayare mrenges?

http://www.surya.co.id/2010/04/19/mario-teguh.html

Sabtu, 24 April 2010

Ki Hadi Sugito dalang wayang kulit gagrak Yogyakarta

PAKEM pewayangan adalah paugeran pergelaran wayang yang harus dipatuhi oleh para dalang. Meskipun demikian, isen-isen ajaran dalam pergelaran wayang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Nut jaman kelakone. Bahkan dalam adegan tertentu, omongan tokoh-tokoh tertentu juga tidak ditabukan glenyengan atau dleweran ke permasalahan yang sedang aktual di masyarakat. Bahkan ketika sedang dalam jejeran, tiba-tiba Janaka terkentut, sebenarnya juga bukan hal yang tabu. Bukankah Janaka itu juga gambaran sesosok manusia biasa?

Pernyataan itu disampaikan Ki Hadi Sugito kepada KR pada tahun 1987. Saat itu gaya pewayangan Ki Hadi Sugito dinilai telah mengalami loncatan jauh maju ke depan, inovatif dan kreatif. “Dalam soal lakon, kalau memainkan lakon-lakon babonan saya selalu sama persis dengan apa yang ada di pakem lakon. Tetapi kalau memainkan cerita-cerita carangan, saya memang banyak menafsirkan sendiri dan saya sesuaikan dengan situasi dan kondisi sewaktu saya mendalang. Cerita-cerita carangan itu kan juga diciptakan sendiri oleh mbah-mbah buyut kita?” tegas Ki Hadi Sugito saat itu.

Selain dikenal ada keseimbangan antara tontonan (entertainment) dan tuntunan (ajaran pendidikan), gaya pedalangan Ki Hadi Sugito sejak tahun 70-an dikenal selalu dikemas segar namun berbobot. Kehebatan vokal dan antawecana dalang asal Kulonprogo itu dikenal sangat enak didengar dan ada harmoni antara suara dalang dengan gendhing pengiring. Karena itu banyak panggemar wayang kulit yang merasa seolah-olah melihat kehidupan nyata ketika mendengarkan pergelaran wayang kulit oleh Dalang Hadi Sugito, meskipun hanya lewat siaran radio atau rekaman audio.

Peran sentral Ki Hadi Sugito dalam pergelaran wayang kulit gagrak Yogyakarta sudah tidak diragukan. Ia adalah salah satu dalang yang tetap berpegang kuat pada pakem pergelaran wayang kulit gaya Yogya. Ia sama sekali tidak terseret arus dalang-dalang lain yang ‘terjebak’ pada pergelaran wayang yang hanya mengutamakan segi tontonan dan mengabaikan fungsinya sebagai tuntunan.
Dalam kondisi para pemerhati seni tradisi sedang prihatin lantaran jagad perkeliran yang sedang carut-marut, 9 Januari lalu mendadak terdengar kabar bahwa Sang Maestro Dalang Yogya, Ki Hadi Sugito, meninggal dunia. Berita itupun benar adanya, dan Ki Hadi Sugito dimakamkan di Sasana Laya Genthan Panjatan Kulonprogo, 10 Januari 2008 tepat 1 Sura 1941 (1 Muharam 1429 H).
Keprihatinan para pemerhati seni dan para dalang wayang kulit klasik bertambah, karena saat ini sebenarnya pedalangan gaya Yogya sangat memerlukan tokoh panutan, seperti Ki Hadi Sugito. Keprihatinan itu antara lain diungkapkan oleh Ki Cerma Sutedjo, Ki Sumono Widjiatmodjo dan sejumlah dalang lain. Sebab menurut mereka, dalang merupakan faktor utama keadiluhungan pergelaran wayang kulit. “Untuk saat ini Ki Hadi Sugito adalah figur yang paling pas dijadikan panutan para dalang muda khususnya, agar pergelaran wayang gaya Yogya tetap adiluhung,” kata Ki Cerma Sutedjo.

Dalang asal Surakarta, Ki Purba Asmoro SKar MHum menilai bahwa kalau mendalang, seolah roh Pak Hadi Sugito bisa masuk ke tubuh wayang, terutama kalau sedang memainkan tokoh Durna, Togog dan Mbilung. Kehebatan antawecana sampai membuat wayang seolah benar-benar hidup pada zaman sekarang, adalah kemampuan Ki Hadi Sugito yang tidak dimiliki oleh dalang-dalang lain. “Pak Gito benar-benar dapat menghidupkan wayang sesuai zamannya. Namun pergelaran wayang yang dimainkan Ki Hadi Sugito tetap bergaya klasik, sesuai aturan dan tatanan yang adiluhung,” tegas Ki Purbo ketika mewakili para seniman dalam upacara pemberangkatan jenazah Ki Hadi Sugito, Kamis (10/1) lalu.

Sebagai pelaku kesenian adiluhung, lanjut Ki Purbo, pengabdian Ki Hadi Sugito sudah tatas-tuntas. Ia telah mendarmabaktikan hidup sepenuhnya kepada kesenian tradisional yang adiluhung menjadi kesenian yang mampu mengikuti perkembangan zaman. “Sikapnya yang enthengan kepada sesama seniman dan sikapnya yang tegar berpegang pada pakem pewayangan klasik Gagrak Ngayogjakarta, merupakan sikap yang sangat pantas diteladani, agar pergelaran wayang kulit benar-benar tetap adiluhung,” tandasnya.

Tentang keadiluhungan pergelaran wayang, Ir Haryono Haryoguritno dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) mengatakan, suatu karya seni dapat mencapai kemahakaryaan karena ditentukan oleh manusia pelaku seni (seniman yang bersangkutan, dalam hal ini dalang), suasana sekitar yang mendukung pergelaran, iklim berkesenian di suatu daerah, dan faktor-faktor lain yang mendukung keadiluhungan pergelaran wayang.

Mengutip isi buku pedalangan Sastramiruda, Ir Haryono Haryoguritno menguraikan bahwa untuk menuju keadiluhungan pergelaran wayang, seorang dalang harus memenuhi 12 syarat. Di antaranya antawecana (menyuarakan secara tepat masing-masing tokoh wayang), renggep (dapat menyajikan tontonan yang mengasyikkan, nges (dapat mendramatisasi adegan sehingga mampu membangkitkan rasa keterlibatan penonton/pendengar), tutug (dapat menyajikan lakon sampai tuntas), gecul/banyol (dapat membuat lelucon) dan kawiradya (dapat membedakan janturan untuk masing-masing adegan.

Ketua Pepadi Kulonprogo, Ki Sumono Widjiatmodjo mengatakan, Pak Gito sangat dikenal sebagai dalang gecul ning ora saru. Dalam hal antawecana, Pak Gito sangat jagoan, terutama ketika memainkan tokoh Durna, Togog dan Mbilung. Bahkan dalam lakon Bagong Kembar, penonton atau pendengar dapat dengan jelas membedakan mana Bagong yang asli dan yang palsu.
“Soal nges lan greget, Pak Gito selalu dapat menarik perasaan orang lain terlibat dalam pergelaran wayang. Apalagi kalau sedang memainkan tokoh Durna yang jahat, sehingga ada penonton di Ngambal Kebumen benar-benar sangat membenci Durna dan mencabut wayang Durna yang sedang dimainkan Ki Hadi Sugito,” kata Ki Sumono.

http://warta.pepadi.com/?p=49

Arjuna

MENURUT versi Mahabharata, Arjuna adalah putra Batara Indra dengan Dewi Kunti. Itulah sebabnya ia disebut Indratanaya (Indraputra), artinya anak Batara Indra. Di India, Arjuna adalah seorang ksatria yang ideal, seorang prajurit. Ia merupakan tokoh yang memiliki kualitas kepahlawanan. Menurut pedalangan Jawa, Arjuna (Janaka), adalah putra Prabu Pandudewanata (raja Hastina) dengan Dewi Kuntitalibrata. Ia putra ketiga dengan urutan sebagai berikut:
1. Raden Puntadewa,
2. Raden Wrekudara,
3. Raden Arjuna (Janaka).
Kasatrian (tempat tinggal) nya di Madukara. Patihnya bernama Patih Rata (Surata). Arjuna adalah sosok tokoh yang kaya akan pengetahuan dan ilmu (Jw: buntas ing kawruh lawan ngelmu), kaya akan senjata dan mantera (Jw: sungih gaman lan mantram), kaya akan istri (Jw: sugih bojo).
Arjuna kaya akan ilmu. Di mana ada pendeta sakti (Jw: pandhita sing gentur tapane, mateng semadine, sidik paningale) didatangi, ditimba ilmunya sampai tuntas/habis.
Kaya akan senjata dan mantera.
Karena kegemarannya berguru, bertapa dan menolong orang, Arjuna memiliki banyak pusaka. Pusaka yang berupa panah:

Arda Dadali/Roda Dadali,
Haryas Sangkali,
Saratama,
Mercujiwa,
Brahmasirah,
6. Agneyastra,
Pasopati.
Yang berwujud busur namanya Kiai Gandhewa. Yang berupa cambuk namanya Kiai Pamuk. Yang merupakan warisan dari orangtuanya (Prabu Pandu) adalah Panah Merdaging, keris Kiai Kalanadah dan Kiai Pulanggeni. Yang berupa mantera: aji Sepiangin, Malayabumi, Sempaliputri, Tunggengmaya, Asmaragama (Kamasutra).

Kaya akan istri. Di dunia pedalangan secara resmi istri Arjuna ada sembilan orang putri, mereka adalah:

Dewi Wara Sumbadra, putri Mandura, berputra Abimanyu.
Dewi Wara Srikandi, putri Pancala, tidak berputra.
Dewi Larasati (Rarasati), dari kademangan Widarakandang, berputra Sumitra danBratalaras.
Dewi Ulupi (Dewi Palupi), putri Begawan Jayawilapa dari pertapaan Yasarata, berputra Bambang Irawan.
Dewi Jimambang, putri Begawan Wilwuk ((Wilawuk) dari pertapaan Pringcendani, berputra dua orang: Kumaladewa dan Kumalasekti.
Dewi/Endang Manuhara, putri Resi Sidanggana dari pertapaan Andongsekar, berputra dua orang putri bernama Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati.
Dewi Dresanala, putri Batara Brama, berputra Wisanggeni.
Dewi Wilutama, seorang bidadari, berputra Wilugangga.
Dewi Supraba, seorang bidadari, berputra Prabakusuma..Meskipun Arjuna sakti dan menguasai banyak ilmu, namun ia tidak sombong. Ia hidup bergaya ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Gaya ilmu padinya terpancar dari sikapnya yang pendiam, sopan santun, tahu menghargai orang lain. Karena kematangan jiwanya, ia mampu menahan marah. Jika marah biasanya Arjuna menggigit bibirnya (Jw: nggeget lathine).
Wayang kulit Arjuna memiliki tiga wanda: 1. Wanda Jenggleng (Jimat), untuk jejer, sunggingan brongsong (brom/prada emas), 2. Wanda Yudasmara (Kadung), untuk pertemuan dengan putri, sunggingan brongsong, 3. Wanda Kinanthi, untuk perang, sunggingan muka hitam, badan prada emas.


http://warta.pepadi.com/?p=42

Jumat, 23 April 2010

Suroboyoan: Cangkrukan ndhuk kafe

Jare Cak Sur arek enom saiki lek cangkruk gak ndhuk gerdhu. “Saiki nggone cangkruk pindhah ndhuk kafe. Lek gurung cangkruk ndhuk kafe ambek main komputer, gurung top.”

Pi’i mbisiki Pendik. “Dicacak ta? Ndhuk Starbucks Tunjungan Plaza.” Arek loro budhal ndhuk kafe ngetop iku. “Lungguhe milih ndhuk pinggir idhek kaca cik kuabeh nontok lek Pendik ambek Pi’i saiki wis modern. Cangkruk ndhuk kafe. Ojok lalu main komputer.”

Pi’i ngirim SMS nang Cak Sur ngabari lek lagek cangkruk ndhuk Starbucks. Cak Sur age-age nyusul. Tapi bareng eruh arek loro, Cak Sur singitan ndhuk idhek kasir. Kasire, Ning Ya, mecucu, “Pesen kopi sitok diseruput arek loro. Lungguh main komputer wis rong jam.”

Pi’i sueneng ditontoki wong ndhuk Tunjungan Plaza. Arek iku telap-telep mangan pohung goreng, bontotan. Kopine sengaja diseruput thithik cik gak onok alasan ngusir, wong kopine gurung entek. Gak ngelak? Pi’i nuduhna plastik isi es cao.

Pendik sing main komputer ngomel. “Mejane keciliken. Digawe ndekek monitor ambek CPU gak cukup.”

Cak Sur kate semaput eruh arek loro nggotong monitor tabung ambek CPU. “Laopo komputer RT koen usung? Ndhuk kafe iku nggawe netbook, laptop. Koen gak nggawa printer mesisan?”

http://www.surya.co.id/2010/04/22/cangkrukan.html

Suroboyoan: Gas Methan

Cak Sur ngajak Pendik ambek Pi’i nang Porong. “Mumpung embong Porong isok diliwati, ayo foto-fotoan.” Arek telu iku ancen sempel. Wong-wong milih foto-fotoan ndhuk tanggul lumpur Lapindo, adakno arek telu pose ndhuk pinggir embong. Mesthi ae disuiti. “Babahno, iki digawe kenang-kenangan. Be’e mbesuk embong iki ditutup, awake dhewe wis duwe fotone,” jare Pendik.

Pendik foto ndhuk idheke bubble mumpung gak onok sing nguwasi. “Koyok udun kate njebluk,” jare Pendik.

Pi’i mik manthuk. Arek iku dungaren gak kakehan ngomong. Pendik ambek Cak Sur kuwatir Pi’i keracunen gas methan sing jarene nyembur tekok blukuthuk-blukuthuk iku. “Koen laopo?” Cak Sur takok. Pi’i meneng thok. Raine wis semu abang.

Gak suwe arek iku ngibrit nyabrang embong. Tangane nutupi bokong. Bareng jarake wis adoh, Pi’i mbungkuk. Gak suwe arek iku wis cengingas-cengingis maneh mara nang Cak Sur. Masi gumun, Cak Sur meneng thok.

Gak suwe Pi’i ngempet maneh. Arek iku mlayu buanter. Tekok sabrang embong Pi’i mbungkuk maneh. Mrenges maneh.

Pas mulih Cak Sur takok. “Koen mau laopo?”

“Aku maca ndhuk Surya, jare gas methan iku bahaya. Gak entuk onok gesekan sing isok mletikna geni. Sepur gak entuk ngerem cik gak mletik-mletik. Iki mau aku kate ngentut. Tak empet. Aku kuwatir entutku nggarai gas methane nggebros. Lak ciloko bokongku.”

http://www.surya.co.id/2010/04/23/gas-methan.html